Michelle sudah berdiri di balik meja kasir sebuah toko kaset di sebuah
mall selama berjam-jam dengan seragam berwarna abu-abu dan topi hitam
menunggu pelanggan yang akan membeli kaset. Dia sedang menulis sesuatu
di buku jurnalnya ketika seorang cowok berjaket biru dengan garis merah
dilengannya membawa sebuah kaset berjalan ke meja kecil didepan meja
kasir. Dia dapat melihat dari sudut matanya cowok itu memasukkan kaset
ke cd room dan menekan tombol play setelah kasetnya masuk ke kepemutar,
lalu dengan sigap dia memasang earphone. Untuk sejenak cowok itu hanya
berdiam diri sambil mendengarkan lagu ditelinganya.
Michelle menggantung ujung penanya di jari sambil memikirkan hal apa
saja yang menurutnya menarik untuk ditulis di jurnal pribadinya itu. tak
sengaja dia memandang wajah cowok yang masih serius dengan musik
ditelinganya. Wajah cowok itu terlihat seperti bercahaya. Hidung, mata,
poni dan bibirnya terlihat sangat sempurna. Sempat terbesit
dipikirannya betapa beruntung cowok itu memiliki wajah sempurna, dan
jika dilihat sepertinya cowok itu juga mempunyai kehidupan yang
sempurna. Dia tersadar dari lamunannya ketika tangan cowok itu bergerak
membuka earphone ditelinganya, dia segera berpura-pura sibuk dengan
jurnalnya. Dalam hati dia sangat malu karena hampir ketahuan sedang
memperhatikan cowok itu.
Cowok itu meletakkan kaset itu diatas meja kasir dan mengeluarkan uang dari dompetnya.
Michelle segera berdiri dan menghitung harga kaset itu dengan lat
pemindai barcode, dia memandang layar komputer dengan hati-hati. Dia
masih merasa sedikit grogi. “Rp. 40.000..” ucapnya pelan, dia
menghindari tatapan mata cowok itu.
Cowok itu memberikan uang Rp. 50.000 pada Michelle. Dia merasakan
keanehan sikap Michelle. Dia memandang bayangan wajahnya di kaca
transparan yang menjadi dinding toko kaset itu, memastikan tak ada yang
aneh pada wajahnya. Namun tak ada apapun yang membuat wajahnya terlihat
janggal.
Michelle segera membungkus kaset tadi dan memberikannya pada cowok itu
bersama uang kembalian. “Ini, terima kasih sudah berkunjung ketoko kami
dan silahkan kembali lagi..” ucapnya pelan. Sekilas dia memandang kedua
bola mata cowok itu. bola matanya berwarna coklat muda, sangat
mengagumkan.
Cowok itu tersenyum, “Thank’s..” dia mengambil kaset dan uang kembaliannya, lalu segera melangkah keluar dari toko.
Michelle sempat memandangi cowok itu untuk beberapa saat, lalu dia
kembali memandang jurnalnya. Entah kenapa dia merasa ada sesuatu yang
akan terjadi yang berhubungan dengan cowok itu, tapi dia berusaha
membuang pikiran itu jauh-jauh.
“Jangan terlalu memperhatikan.. Nanti patah hati..” Goda Kevin, bos tempatnya bekerja sambil berlalu dengan senyuman khasnya.
Michelle hanya tersenyum tipis sambil menundukkan wajah.
Yap! Inilah hidupnya. Michelle Regina. Seorang gadis yang masih berusia
17 tahun yang sudah harus merasakan beratnya berjuang demi menyambung
hidup. Pada usia 11 ibunya meninggal karena kanker. Wanita yang sangat
tegar dan selalu menjadi inspirasi hidupnya. Tak lama kemudian dia
merasakan betapa kejamnya ibu tiri, bahkan ayahnya sudah mulai tak
memperdulikan dirinya. Ketika adik tirinya lahir, ayahnya bahkan tidak
segan-segan menyakitinya. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk melarikan
diri ketika usianya masih 15 tahun. Oleh karena itu dia tak bisa
melanjutkan sekolahnya. Dia berjuang sendiri dengan tangan dan kakinya
untuk menyambung hidup.
Michelle berjalan seorang diri diantara gelapnya malam. Jalanan belum
terlalu sepi. Dia merapatkan jaketnya sambil memastikan sekeliling.
Dingin terasa sangat menusuk kulit. Dia mempercepat langkahnya agar
segera sampai ke kontrakan kecil yang dia sewa dengan harga paling
murah. Kondisi rumah itu hanya memiliki dua ruangan kecil, bagian depan
dia jadikan kamar dan dibelakang dapur. Meskipun begitu, dia bisa
menyulap rumah itu menjadi rumah yang sangat nyaman. Dia tinggal di
daerah kumuh dan lingkungan yang kurang baik. Selisih beberapa rumah
dari kontrakannya ada tempat pelacuran yang selalu buka sampai pagi,
bahkan dia pernah ditawari untuk bekerja disana.
Michelle membaringkan tubuhnya diatas kasur. Memandang langit-langit
kamarnya. Tiba-tiba dia teringat wajah cowok tadi, wajah yang seperti
bercahaya yang telah menarik perhtiannya. Dia baru menyadari kalau dia
adalah remaja. Tapi apa yang harus dia lakukan?? Berlaku seperti remaja
lain yang menghabiskan uang di mall bersama teman-teman mereka, atau
memiliki kekasih tampan yang selalu mereka pamerkan kemana-mana? Sudah
pasti dia tak bisa melakukan itu semua. Hidupnya hanya bisa diisi oleh
kerja keras untuk menyambung hidup. Rasanya dia tak berhak mendapatkan
itu semua.
Tapi.. bayangan cowok itu membuat hatinya bergetar. Apa yang terjadi?
***
Malam ini Michelle pulang lebih awal karena bos tempatnya bekerja
mempunyai acara yang tak bisa dia lewatkan. Biasanya dia baru pulang
dari toko kaset sekitar pukul 10 atau 11, tapi sekarang baru pukul 8.
Dia senang bisa mempunyai waktu senggang malam ini, jadi dia bisa mampir
kesebuah pasar malam yang tak jauh dari rumahnya. Meskipun tak
mempunyai teman, paling tidak dia bisa merasa terhibur berada di
tengah-tengah keramaian sambil menyaksikan berbagai pertunjukan.
Beberapa kali dia mengelap air mata yang mulai membasahi pipinya ketika
mengingat almarhum ibunya sering mengajaknya ke pasar malam dulu.
Matanya terpaku pada sebungkus gulali yang dijual oleh seorang pedagang.
Dia menyukai gulali, tapi jika dia membeli gulali itu bisa saja
membuka kenangan-kenangan tentang ibu yang sangat mencintainya. Suasana
membahagiakan itu cukup menyiksa batinnya, jadi dia memutuskan untuk
pulang.
Dia menendang beberapa batu kecil yang tergeletak dijalan. Jalanan
menuju rumahnya sangat sepi, membuat suasana hatinya semakin mellow.
Tiba-tiba terdengar suara mobil yang direm secara paksa tak jauh dari
tempatnya berjalan, dia melirik mobil itu dari sudut matanya. Tampak
beberapa pria bertubuh besar keluar dari mobil sambil menyeret seorang
pria muda yang memakai sweater berwarna abu-abu. Dia tak bisa melihat
pria yang diseret itu dengan jelas. Dia hanya menunduk berpura-pura tak
melihat apapun. Karena disekitar rumahnya bukan hal yang aneh jika
terjadi tindak kriminal.
“Aaaww!!” rintih Michelle ketika salah seorang pria besar itu menabraknya. Dia memegangi bahunya yang nyeri.
Pria itu memandang Michelle dengan muka garangnya, “Jangan menutupi jalan!!”
Michelle segera menyingkir dari jalan agar mereka bisa lewat.
“Lepasin!!!” seru pria yang diseret itu.
Michelle mengangkat wajahnya untuk melihat pria itu. Meskipun gelap,
tapi dia bisa mengenali pria itu dengan gampang dari hidung dan matanya.
Dia terkejut ketika menyadari yang sedang diseret itu adalah cowok
yang tempo hari berbelanja di toko kasetnya.
Cowok yang tak bisa berkutik karena dipegangi oleh dua orang bertubuh
besar dikanan dan kirinya itu juga mengenali Michelle, dia berteriak
meminta pertolongan. “Heii!! Loe yang di toko kaset itu kan?? Please!
Tolong gue!!!”
Michelle ingin sekali bisa menolong pria itu, tapi apa yang bisa dia
lakukan. Dia ketakutan. Tiba-tiba seorang pria yang paling belakang
menjambak rambutnya dengan kasar. “AAAwww!!!!” jeritnya.
Pria bertubuh besar itu mencengkeram rambut Michelle dengan kuat, lalu
berbisik ditelinga gadis itu. “Anggap loe ngga ngeliat apapun malam ini
kalau loe masih mau hidup!! NGERTI LOE?!!” ancamnya.
Michelle kesakitan. Tak tau apa yang harus dia perbuat, dia mengangguk perlahan. “I.. iya..”
“Kalalu loe sampai ngelapor ke polisi, loe bakalan gue buat kayak cowok
yang didepan itu!!!” pria itu menyentakan tanganya hingga tubuh
Michelle yang kecil terhempas ke aspal.
DUUG!!! Rasa pedih menjalar dikepala Michelle untuk beberapa saat, lalu
menghilang. Secercah cahaya masuk kecelah matanya, ingatan-ingatan tak
mengenakan itu kembali muncul. Senyum ibunya, kasih sayang yang selalu
dia rasakan ketika itu. dan perlakuan tidak adil dari ayahnya.
“Chel! Chel! Banguun!” Ucap sebuah suara lembut yang tak asing ditelinga Michelle.
Michelle membuka matanya perlahan. Kepalanya terasa sangat pusing,
semuanya terasa berputar. Dia mengerjapkan matanya berkali-kali untuk
membiasakan matanya dengan cahaya terang. Setelah beberapa saat baru dia
bisa melihat dengan jelas siapa yang memanggil namanya, Finda, seorang
gadis yang tinggal tak jauh dari tempat tinggalnya.
“Loe kenapa Chelle?? Kok bisa pingsan di jalanan gini??” Tanya Finda cemas.
Setelah mendengar ucapan Finda, Michelle baru mengingat kejadian
terakhir. Ternyata dia pingsan semalam. Dahinya terluka, darah kering
masih terpapar jelas disana. Dia belum punya cukup tenaga untuk
menceritkannya pada Finda.
“Yaudah, loe bangun dulu.. gue anter kerumah ya.. Loe istirahat aja dulu..” Ucap Finda sambil membantu Michelle bangkit.
Sesampai dirumah. Michelle segera berbaring ditempat tidurnya. Dia
mengingat cowok yang telah merasuki pikirannya selama berhari-hari itu.
bagaimana nasibnya sekarang.
“Ohh.. jadi gitu. Hati-hati loe Chel, mereka pasti orang suruhan yang
ditugasin untuk ngabisin tuh cowok. Mending jangan cari gara-gara dengan
orang yang kayak gitu. Entar malah loe yang kena batunya.” Ucap Finda
setelah mendengar cerita Michelle ketika dia baru selesai mengobati
luka didahi gadis itu.
“Tapi gue khawatir banget dengan cowok itu..” Ucap Michelle.
Finda memandang Michelle tak mengerti, “Chell.. belum apa-apa aja loe
udah kayak gini, gimana kalau loe sampe dibunuh sama mereka?? Emang loe
kenal sama cowok itu??”
Michelle menggeleng, “Ngga.. tapi dia pernah belanja di toko kaset tempat gue kerja.”
“Udah deh, Chel.. Jangan cari masalah! Yaudah, gue balik dulu ya. Takut
nyokap nyariin.. loe ngga apa-apa kan gue tinggal??” Tanya Finda.
Michelle tersenyum tipis sambil mengengguk, “Iya, ngga apa-apa.. Thank’s ya..”
Finda bangkit dan keluar dari rumah kontrakan Michelle.
Walaupun Finda memintanya untuk tidak memikirkan tentang cowok itu, tapi
pikirannya tak bisa berhenti membayangkan wajah panik cowok itu
semalam. Dia merasa sangat bersalah karena tak bisa melakukan apapun.
Dia bangkit perlahan dan duduk di pinggir kasur, membuat daftar kecil
diotaknya tentang apa saja yang mungkin terjadi pada cowok itu.
Benturan dikepala benar-benar membuatnya tak bisa berlama-lama
menegakkan kepala selama beberapa hari. Hal itu membuatnya terpaksa
mengambil cuti untuk sementara waktu dari tempat kerjanya. Dihari
ketiga, dia sudah bisa beraktifitas seperti biasa meskipun pusing
dikepalanya belum hilang seutuhnya.
Tok! Tok! Tok! Terdengar ketukan dari luar.
Reflek kepala Michelle langsung memandang kearah pintu. Dalam hati dia
bertanya siapa yang datang, dia beridiri perlahan dan berjalan kepintu
tanpa mengeluarkan suara.
“Michelle.. ada yang mau ketemu kamu nih...” Ucap suara riang dari luar,
Michelle tau itu adalah suara ibu pemilik kontrakan yang selalu ceria,
Bu Darni.
Langkah Michelle terhenti sejengkal sebelum mendekati pintu. Siapa yang
mencarinya? Itu lah yang sedang bergulat dipikirannya. Dengan sangat
hati-hati dia mengintip dijendela kamarnya. Betapa terkejutnya dia
ketika melihat sosok pria bertubuh tinggi dan sedikit gemuk berdiri
didepan pintu bersama Bu Darni. Dia segera mengbungkam mulutnya dengan
tangan ketika teriakan kaget akan keluar dari mulutnya. Dia melangkah
mundur sepelan mungkin menjauhi pintu. Pikirannya kacau. Dia tak tau
harus melakukan apa. Kenangan-kenangan buruk di masa lalu kembali muncul
dibenaknya. Masih ingat jelas dipikirannya bagaimana cara pria tinggi
dan sedikit gemuk itu menghukumnya hanya karena dia tidak terlihat
senang ketika adik tirinya lahir, dia nyaris mati karena ditenggelamkan
di bathup. Tubuhnya bergetar, dia sangat panik! Dia benar-benar tak mau
bertemu pria yang secara biologis itu adalah ayahnya. Jalan
satu-satunya adalah kabur secepatnya. Dia segera menjangkau tas kecil
yang tergantung di dekat kasurnya, lalu dengan cepat dia memasukkan
baju secukupnya kedalamnya. Setelah mengambil dompet dia segera masuk
kedapur untuk keluar dari pintu belakang sebelum Bu Darni berinisiatif
masuk menggunakan kunci cadangan. Dia membuka pintu belakang perlahan,
tak terlihat siapapun disana. Dengan cepat dia keluar dan menjauh dari
rumahnya secepat mungkin. Dia sudah merasa cukup tersiksa selama ini
bersma ayahnya, dan dia tak mau mengalaminya lagi. Tubuhnya masih
bergetar ketika dia duduk di halte bus, walaupun dia tak berniat naik
bus. Dia masih tak mengerti bagaimana ayahnya bisa mengetahui tempat
tinggalnya dan kenapa setelah beberapa tahun dia pergi dari rumah pria
itu malah mencarinya. Sekarang selain kenangan masa lalu yang
menyesakkan dadanya, pertunya juga menyiksanya karena dia lupa sejak
kemarin belum makan apa-apa. Dia segera mencari warung untuk mengisi
perutnya sebelum pingsan karena kelaparan.
Setelah perutnya terisi, pikirannya kembali jernih. Dia memikirkan
langkah selanjutnya yang akan dia lakukan. Tidak mungkin untuk sementara
waktu ini dia kembali kekontrakan.
“Telah dilaporkan menghilang, seorang anak pengusaha ternama di
Indonesia, William Kim, pada dua hari yang lalu...” ucap pembaca berita
di sebuah tv kecil yang terdapat disudut warung itu.
Spontan Michelle memandang ke layar tv. Matanya melotot melihat foto
yang terpampang di layar tv. Itu adalah foto cowok yang semalam diseret
oleh orang-orang itu sedang tertawa sambil memegang kamera. dan
ciri-ciri yang disebutkan pun sama persis.
“.. ketika menghilang dia mengenakan sweater abu-abu dan jeans berwarna hitam...”
Michelle semakin panik. Ternyata cowok yang bernama William itu belum
pulang sejak kejadian malam itu. apa yang terjadi?? Pikirannya kembali
berkecamuk. Dia segera meninggalkan warung itu sebelum ada orang yang
menyadari kepanikannya. Dia tak tau harus melakukan apa dan harus pergi
kemana. jadi dia memutuskan untuk mengunjungi makam ibunya.
Dia berjalan diantara makam-makam yang tak terawat. Begitu juga makam
ibunya. Sudah bertahun-tahun dia tak berkunjung kemari. Dia membersihkan
makam itu dengan tangan, sebersih yang dia bisa. Setelah itu dia duduk
di pinggir makam ibunya, dia memandangi nisan ibunya yang sudah mulai
memudar. Dalam hati dia menjerit dan menceritakan semua kesedihannya.
Air mata pun ikut menemaninya dalam hening. Dia mulai terisak sambil
menghapus air matanya.
“Michelle ngga tau harus ngelakuin apa, Ma..” ucapnya lirih. “Bantu
Michelle ma.. Michelle ngga bisa menghadapi ini sendiri.” Dia mulai
terisak lagi, “Maafin Michelle karena ngga bisa jadi anak yang bisa
ngebanggain mama.. Michelle takut..” dia tenggelam dalam tamgis beberapa
saat, “Apa yang harus Michelle lakuin ma??”
“Loe harus tolong gue..” Ucap sebuah suara di sisi lain makam ibu Michelle.
Michelle memandang orang yang mempunyai suara itu, dan betapa
terkejutnya dia melihat William duduk di hadapannya. Dia terlonjak
kebelakang dan hampir terjerembab jika tangannya tidak dengan sigap
menahan tubuhnya. Matanya melotot memandang cowok yang baru saja dia
lihat berita hilangnya di TV. “L.. loe??!!!”
William pun tampak terkejut, dia segera melihat tangan dan tubuhnya. Lalu kembali memandang Michelle, “Loe bisa ngeliat gue??”
“Loe masih hidup??” Ucap Michelle terbata-bata.
William berdiri dan hendak menghampiri michelle yang masih terlihat shock, “Loe bisa ngeliat gue?!” ulangnya.
Michelle berdiri dan segera menjaga jarak dengan William, “Jangan mendekat!!!” serunya.
Langkah William terhenti, dia memandang Michelle yang masih ketakutan
dan bingung. “Gue tau loe pasti kaget ngeliat gue, tapi please! Loe
harus nolongin gue!” pintanya.
Nafas Michelle terasa sesak, “Loe masih hidup? Kenapa loe ngga pulang ketempat keluarga loe? Mereka semua nyariin loe..”
“iiya, gur tau..” William melangkah mendekati Michelle.
“Stop! Jangan deketin gue!!!” Michele segera mundur, tangan kanannya terulur kedepan isyarat menalarang William untuk maju.
“Oke! Gue ngga akan ngedekatin loe!” Ucap William, “Gue Cuma mau minta pertolongan loe!”
“pertolongan gue? Buat apa? Loe tinggal pulang aja kan kerumah loe, semua orang pasti ngga akan ribut.” Ucap Michelle.
“Gue udah pulang kerumah gue! Gue udah pergi kekampus! Gue udah pergi
kemana pun tempat dimana orang selalu mondar-mandir. Tapi ngga ada satu
pun dari mereka yang ngeliat gue!! Dengar suara gue! Atau pun ngerasain
sentuhan gue!!!!” Jelas William frustasi.
Michelle terkejut mendengar ucapan William, “Apa?!”
“Iya.. gue kaget banget loe bisa ngeliat dan denger suara gue tadi!
Please! Gue mohon bantu gue! Udah dua hari keluarga gue khawatir nyariin
gue! Tapi mereka ngga tau keberadaan gue! Please! Gue mohon...” suara
William terdengar memelas.
Michelle masih tak mengerti dengan apa yang sedang terjadi, “Jadi maksud loe, loe udah meninggal?”
William menunduk, lalu mamandang Michelle lemah. Dia mengangguk pelan, “Gue rasa...”
Michelle semakin tak mengerti dengan apa yang terjadi, “Tunggu, berarti loe ini hantu?!”
“Itu nggak penting! Gue butuh bantuan loe untuk nemuin badan gue!
Please! Nyokap gue khawatir banget.. dia ngga bisa melakukan apapun
kecuali nangis karena gue belum ditemuin..” Ucap William lagi.
Michelle berusaha mencerna kejadian itu dengan pikiran jernih, tapi begitu banyak kejutan hari ini yang membuatnya panik.
“Gue mohon! Cuma loe harapan gue.. walaupun nyokap gue ngga ngeliat gue
pulang dengan selamat, tapi paling ngga dia bisa ngeliat badan gue. Dia
ngga akan sedih mikirin gue yang menghilang...” ucap William
meyakinkan Michelle.
Michelle memandang William dengan wajah menyesal, “Sorry, gue ngga bisa
ngebantuin loe. Loe datang sama orang yang salah...” dia memperbaiki
sandangan tasnya, lalu berjalan pergi.
“Heiii! Jangan pergi!” William mengikuti Michelle. “Please tolong gue! Cuma loe yang bisa ngebantuin gue!”
Michelle terus berjalan tanpa menggubris ucapan-ucapan William, meskipun
hatinya sangat menyesal. Sepanjang jalan cowok itu tak henti-hentinya
memohon agar dia mau manolongnya. Tapi dia hanya diam. Dan ternyata
memang tak ada satu orang pun yang mendengar ucapan William kecuali
dirinya.
“Please!! Andai loe jadi gue, apa loe bakal biarin nyokap loe sedih
setiap hari karena mengira loe menghilang...” Ucap William dengan nada
memelas.
Michelle tergugah karena ucapan William barusan, dia berhenti melangkah dan memikirkannya.
“Itu nyokap gue!” Ucap William sambil menunjuk layar tv yang terdapat pada sebuah warung dengan tatapan matanya.
Michelle memandang layar tv. Tampak seorang ibu-ibu yang masih cantik terawat menangis didepan semua media yang meliput.
“Saya tidak butuh apapun kecuali putra saya, Will!! Tolong kembalikan dia!!” ucap ibu William dengan linangan air matanya.
Michelle terdiam, tak tau apa yang harus dia lakukan. Dia terkejut
melihat William tiba-tiba berlutut dihadapannya. Dia melihat kanan kiri,
tapi tak ada yang melihat apa yang sedang dilakukan cowok itu.
“Heii..” ucapnya pelan, berharap tak ada yang mendengarnya.
William berdiri dengan satu lututnya dihadapan Michelle, kepalanya tertunduk. “Gue mohon!”
Hati Michelle luluh melihat keteguhan William. Dia teringat almarhum
ibunya, dia juga pasti tak tega jika melihat ibu yang dicintainya
menangis cemas seperti itu.
William mengangkat wajahnya memandang Michelle, “Apa gue perlu nyium kaki loe??”
Michelle menggeleng pelan, “Oke, gue bantu loe..”
Wajah William langsung berseri, dia segera berdiri dan hampir memeluk
Michelle. Tapi dia sadar kalau tubuhnya sudah tak sepadat dulu hingga
bisa memeluk seseorang. Dia tak tau harus bagaimana mengungkapkan rasa
terima kasihnya, “Makasih banget...”
Michelle mengangguk sambil tersenyum tipis, dalam hati dia bertanya-tanya apakah dia bisa membantu William.
“Hmm.. nama loe siapa?” Tanya William setelah cukup lama hening ketika
dia dan Michelle duduk disebuah taman permainan anak-anak yang sudah
lama tidak digunakan.
Michelle yang duduk sambil memeluk lututnya dibawah sebuah jembatan
gantung memandang William, “Michelle.. dan nama loe William kan?”
William tersenyum tipis, dia tak terkejut Michelle mengetahui namanya.
Karena sejak tadi pagi fotonya sudah tersebar dilayar tv, “Ya.. loe
cukup panggil gue Will...”
Michelle mengangguk, lalu keadaan hening lagi.
Akhirnya Will, memulai pembicaraan yang serius. “Apa loe takut ada didekat gue?”
Michelle memandang Will serius, “Tadinya iya..”
“Sekarang?” Tanya Will sedikit penasaran.
Michelle menggeleng, “Ngga lagi. Karena loe ngga kayak hantu yang ada
dicerita fiksi. Loe ngga berdarah, ngga ketawa yang nyeremin..” dia
tertawa kecil saat mengatakan itu.
Will tersenyum, “Ya, gue emang ngga kayak gitu..”
“Oh iya, malam itu. orang-orang itu bawa loe kemana?” Tanya Michelle.
Will mencoba mengingat, “Yang jelas, tempatnya pengap. Disekeliling
tempat itu ada air. sekitar 5 menit dari jalan tempat kita ketemu. Gue
ngga bisa ngeliat jelas karena waktu itu gelap banget!”
“loe diapain sama mereka?” Tanya Michelle hati-hati.
Will menatap kedua mata Michelle, terlihat kepedihan dimatanya. “seinget
gue, begitu samapai disana mereka langsung nutup mata gue pake kain.
Dan gue diseret lagi ngga tau kemana. Gue udah berusaha untuk ngebuka
penutup mata itu, tapi tangan gue ngga bisa digerakin. Dua orang
megangin tangan gue kenceng banget! Ngga lama kemudian mereka mendorong
gue dan gue jatoh. Setelah itu gue ngga tau apa-apa lagi. Waktu gue
sadar, gue ada kamar gue. Tapi ngga ada seorang pun yang menyadari
kehadiran gue.” Jelasnya.
“Dan jatuh itu yang menyebabkan loe meninggal?” Tanya Michelle memperjelas.
“Gue rasa..” Ucap Will.
“Apa loe kenal siapa mereka?” Tanya Michelle lagi.
“Sama sekali ngga. Tiba-tiba aja mereka muncul waktu gue sedang dalam
perjalan pulang dari tempat kursus musik, mereka langsung nyeret gue
masuk kemobil.” Jelas Will lagi.
Michelle memikirkan semua informasi dari Will, mencoba menemukan
petunjuk dari informasi-informasi itu. tiba-tiba dia teringat sesuatu,
“tempat yang disekitarnya air?” gumamnya sambil mengingat.
Will memperhatikan Michelle.
“Apa tempat yang loe maksud itu kayak gedung tua yang disekitarnya danau?” Tanya Michelle.
Will mencoba mengingat, “Gue gak tau pasti apa disekitarnya danau atau
kolam, atau apapun itu. tapi gedungnya emang keliatan tua banget!”
“Kayaknya gue tau tempat yang loe maksud! Ayo!” Michelle segera berdiri
dan melangkah cepat menuju tempat yang dimaksud Will itu.
Will segera mengikuti Michelle. Dia benar-benar berharap pada bantuan gadis berambut panjang itu.
***
Michelle mengendap-endap dibalik pohon besar sambil memperhatikan sebuah
gedung tua yang lumayan jauh dari tempatnya berdiri, Will tak perlu
repot-repot bersembunyi seperti dirinya.
“Apa gedung itu yang loe maksud?” Tanya Michelle setengah berbisik.
Will memperhatikan gedung itu, disekitarnya memang terdapat danau. “Iya, gue yakin ini gedungnya..”
Angin lembut meniup rambut Michelle yang dibiarkan lepas, bekas perban
dikepalanya masih terlihat bersih. “Gue harus masuk untuk ngeliat apa
ada petunjuk tentang tubuh loe..”
“Maksud loe, kita?” Will menjelaskan maksudnya.
Michelle memandang Will sesaat, “Oke, kita harus masuk untuk ngeliat apa ada petunjuk tentang tubuh loe..” ulangnya.
Will tersenyum tipis, “Oke, kita masuk sekarang..”
Michelle melangkah keluar dari balik pohon dan melangkah pelan kearah
gedung. Dia berusaha terlihat biasa saja agar tidak ada yang curiga,
walaupun tak ada satu orang pun yang terlihat berada disekitarnya. Will
berjalan disisinya dengan harapan yang membumbung tinggi.
Gedung itu sama sekali tak ada yang menjaga atau tanda-tanda ada orang
yang pernah kesana. Hampir disetiap permukaan dinding bagian luar penuh
dengan coretan cat pilox dan arang. Kondisi gedung itu juga tak
memungkinkan jika ada yang tinggal disana. Mereka berhenti didepan
gedung sambil melihat situasi.
“sepi banget! Kayaknya ngga ada orang..” Ucap Michelle.
“Jangan terlalu cepat mennyimpulkan.. kita belum tau apa yang tersembunyi didalamnya...” Ucap Will mengingatkan.
Michelle mengangguk, dia membetulkan posisi tas dan melangkah perlahan
memasuki gedung yang pintunya sudah tidak jelas seperti apa bentuknya.
Tanpa mengeluarkan suara dia melewati pintu. Lantai didalam gedung
dipenuhi dedaunan kering yang terbawa angin dari depan gedung. Suasana
didalam gedung terasa sedikit mencekam. Kondisi diruang pertama dan
kedua sama, tak ada tanda-tanda ada orang disana.
“Diruangan ini mata gue ditutup dan diseret ngga tau kearah mana...” Ucap Will ketika mereka masuk ke ruang ketiga.
Michelle berhenti sejenak memperhatikan sekitar. Ruangan itu terlihat
biasa saja, masih dengan sampah dedaunan kering yang berserakan
dilantai. Tapi tidak sebanyak di ruangan sebelumnya. Matanya melihat
sesuatu yang terselip diantara dedaunan. Hati-hati dia menyibakkan
dedaunan itu dan menemukan sebuah handphone berwarna hitam dengan
sedikit gores dipinggirnya.
“Handphone gue!” seru Will.
“Handphone loe mati..” Ucap Michelle, lalu memandang Will.
“Emang selalu gue matiin waktu kursus.. gue belum sempat ngaktifin lagi
karena mereka keburu dateng. Mungkin handphone gue jatoh waktu mereka
ngedorong gue disini..” Jelas Will.
“Hei!!” seru seseorang di belakang Michelle.
Michelle terkejut dan langsung memandang kebelakang, dia terkejut melihat seorang pria bertubuh besar berdiri di pintu masuk.
“Lari!!!” Teriak Will panik.
Michelle segera berlari kedalam gedung untuk menghindari orang tadi.
“HEI! Jangan lari loe!!!!” pria tadi segera mengejar Michelle.
Michelle berlari sekencang mungkin, masuk ke ruangan satu dan lainnya.
Dalam hati dia berharap tidak ada pria besar lainnya didalam gedung. Dia
sangat panik.
“Michelle! Di balik kardus-kardus itu!” Seru Will sambil menunjuk tumpukan kardus disudut ruangan.
Michelle tak sanggup berlari lagi, dia mengikuti saran Will dan segera
bersembunyi dibalik kardus itu. nafasnya terengah-engah. Dia duduk
dibelakang tumpukan kardus itu sambil mengatur nafas dan memasang
pendengarannya dengan baik.
“Dia kesini! Jangan bersuara!” Ucap Will dari pintu masuk ruangan itu.
Michelle langsung menahan dirinya agar tidak mengeluarkan suara sedikit pun.
Tak lama terdengar suara langkah berat memasuki ruangan itu. jantung
Michelle berdegup kencang, dia benar-benar panik. Dia menutup mulut dan
memejamkan matanya. Suasana hening sejenak, lalu terdengar langkah
berat itu mendekati tempatnya bersembunyi. Tiba-tiba terdengar suara
musik yang ternyata berasal dari handphone pria itu, dia hampir saja
berteriak karena kaget.
Pria itu segera mengangkat panggilan di handphone-nya, “Hallo bos..” dia
diam sejenak, “Tenang bos, ngga ada yang tau tentang anak itu...
tenang bos, anak itu masih berada di dalam lubang itu. Iya, bos.. Besok
akan segera saya pindahkan ke tebing didekat gedung ini.. Lapor bos,
ada penyusup ke gedung ini.. Tapi akan segera saya bereskan! Baik..”
dan pembiacaraan itu selesai. Terdengar langkah berat itu menjauh
pergi.
“Dia udah pergi.” Ucap Will tak lama kemudian.
Michelle menghela nafas lega sambil mengurut dadanya. Dia bangkit
perlahan sambil memperhatikan sekitar, memang sudah tidak ada pria tadi.
“Kita harus segera pergi dari sini!” ucapnya pelan.
Will mengangguk, “Ayo!”
Ketika hendak melangkah keluar dari belakang tumpukan kardus itu,
tangannya tak sengaja menyenggol sebuah kardus yang menyebabkan tutupnya
terbuka. Dia terkejut melihat sebuah senjata api laras pendek
tergeletak di dalam kardus diatas daun-daun kering.
“Ini... ganja..” Ucap Will mengenali daun itu.
“Hah?” Michelle memandang Will tak percaya. Dia sekarang sedang
berhadapan dengan pengedar ganja yang sejak beberapa bulan lalu mulai
dibicarakan oleh tetangga dan orang-orang disekitar rumahnya. “Ayo
pergi!” dia melangkah menuju pintu.
“Tunggu! loe pasti butuh ini.” Will menunjuk senjata api tadi.
Michelle memandang Will tak mengerti, “pistol? Buat apa?”
“Michelle! Salah satu dari mereka udah ngeliat loe ada ditempat mereka,
ngga mungkin mereka ngebiarin loe gitu aja. Loe butuh perlindungan
diri..” Ucap Will mengingatkan.
Michelle mengerti maksud Will dan setuju akan hal itu, dia segera
mengambil senjata api itu dan memasukkannya kedalam tas. “Kita pergi
sekarang!”
“Ayo, lewat jendela! Loe ngga mungkin keluar lewat depan lagi.” Ucap
Will sambil menunjuk jendela yang tepat berada dihadapan pintu tempat
mereka berdiri.
Michelle mengangguk, dia segera melangkah kejendela, lalu membuka
jendela perlahan. Untung jendela itu tidak macet atau sebagainya, namun
jendela itu tidak bisa terbuka lebar. Dia menjulurkan kakinya keluar
dan berusaha menyelipkan tubuhnya secepat mungkin. Tiba-tiba dia
medengar langkah berat tadi mendekat.
“Cepat! Dia balik lagi!” seru Will.
Ucapan Will membuat Michelle semakin tegang, dia berusaha sekuat tenaga
mendorong tubuhnya keluar melalui jendela. Akhirnya dia berhasil keluar
dan segera berlari tepat ketika pria besar tadi melihatnya berada
keluar dari jendela.
“Woooi!! Berhenti LOE!” seru pria tadi.
“Ayo Michelle! Jangan berhenti! Jangan liat kebelakang!” Ucap Will.
Michelle terus berlari. Terdengar suara tembakan dari gedung tadi.
Beruntung peluru-peluru itu tidak mengenainya, hanya sempat nyaris
melukai tubuhnya jika dia tidak terpeleset dan terjatuh sesaat hingga
peluru itu mengenai pohon besar di sebelahnya. Dia tak membuangkan waktu
untuk berlari lagi.
Tanpa disadari dia sudah berlari sampai ke jalan dimana dia melihat Will
diseret oleh orang bertubuh besar itu, yang berarti dekat dengan rumah
kontrakannya. Dia berhenti sejenak untuk menghela nafas sambil
memandang kebelakang, pria bertubuh besar tadi tak terlihat lagi.
“Michelle! Michelle!” Panggil seseorang dari arah belakang Michelle.
Michelle memandang kearah belakang, matanya membesar melihat seorang pria yang tadi pagi membuatnya lari dari kontrakan.
“Itu siapa?” Tanya Will heran.
“Bokap gue!” Ucap Michelle pelan, lalu langsung berlari melarikan diri lagi.
“Lho, kenapa loe kabur?” Will mengikuti Michelle.
***
“Oh.. jadi gitu?” Ucap Will setelah mendengar alasan Michelle kenapa kabur dari ayahnya tadi.
Michelle menunduk memandangi jemarinya. Dia dan Will berada dibawah
sebuah terowongan yang sering dia datangi ketika merasa tak mempunyai
tempat untuk sendiri. Hari sudah gelap, hujan turun perlahan membasahi
bumi. Dia memandangi rintik-rintik hujan yang turun semakin deras sambil
memeluk kedua kakinya. Udara malam yang dingin mulai menusuk kulitnya.
Berkali-kali dia merapatkan jaket.
“Tapi kenapa loe kabur? Mungkin aja bokap loe dateng untuk minta maaf
karena dia udah menyadari kesalahannya atau mau menyampaikan hal penting
lainnya..” Ucap Will.
Michelle memandang Will, “Hmm.. kemungkinan itu Cuma 5% akan terjadi..”
ucapnya, “Loe ngga pernah tau gimana dia udah nyakitin gue. Bukan hanya
hati gue. Tapi seluruh masa depan gue..”
“Michelle, 5% tetap saja peluang..” Ucap Will.
“5% itu sangat kecil! Gue ngga mau mengambil resiko hanya untuk 5%..” Ucap Michelle.
“Bukan hanya 5%.. Tapi kamu masih mempunyai 5% kan..” Ucap Will. Secara
tidak langsung dia ingin memberi motivasi pada gadis muda itu.
Michelle senang mendengar ucapan Will, paling tidak ada yang menghibur hatinya saat ini.
“Umur loe berapa?” Tanya Will.
“17.. kenapa?” Tanya Michelle penasaran.
Will agak terkejut mendengar jawaban Michelle, “Waktu gue ketemua loe di
toko kaset sekitar jam 10 pagi, seharusnya jam segitu loe ada di
sekolah kan?” Tanyanya.
Michelle mengerti maksud Will, “Hmm.. memang seharusnya begitu. Tapi
bagaimana gue bisa sekolah kalau setiap hari gue harus bekerja untuk
menghidupi diri sendiri?”
“Jadi, setelah loe kabur, loe ngga tinggal sama sauadra atau siapa gitu?” Tanya Will lagi.
“Ngga, gue ngga punya siapa-siapa selain nyokap bokap gue. Gue ngga
kenal siapa pun yang bisa menolong gue. Setelah kabur dari rumah, gue
berusaha mati-matian melanjutkan hidup sendirian. Setahun sebelum gue
dapet kerja tetap dan bisa nyewa kontrakan, gue tidur di mana aja. Gue
kerja apa aja. Dan suatu hari ketika semuanya terlalu berat, gue
hampir..” Michelle menahan kata-katanya.
Will menunggu kata-kata selanjutnya, dia memposisikan dirinya sebagai
pendengar yang baik. Dia bisa melihat kedua bola mata Michelle
berkaca-kaca.
Michelle menyibakan poninya yang menutupi wajah, lalu memandang Will
dengan wajah tegarnya. “Gue hampir tergoda untuk menjadi pelacur. Karena
gua ngga bisa ngelakuin apapun selain menjual diri.”
Will tampak tak percaya, dia memandang Michelle dari atas kebawah.
“Maksud loe, loe udah ngga....” Dia tak melanjutkan ucapannya.
“Tentu aja masih!” Seru Michelle, “Gue bilang HAMPIR!!”
Will lega mendengar itu, dia kembali diam dan mendengarkan.
“Tapi ingatan tentang almarhum nyokap menyadarkan gue. Kalau gue masih
punya tangan, gue masih punya kaki.. So, gue bisa berusaha dengan cara
yang baik. Gue ngga mau suatu saat orang-orang ingat tentang gue sebagai
pelacur yang udah menghancurkan rumah tangganya, atau lebih buruk dari
itu. dengan usaha gue, akhirnya gue dapet pekerjaan di toko kaset
itu..” Cerita Michelle, sekaligus mengklarifikasi ucapannya tadi.
Will mengangguk mengerti. Dia memandang Michelle kagum, tak menyangka
gadis semuda itu telah mengalami hidup seberat itu. sedangkan dia tidak
pernah merasa menderita seumur hidupnya. “Loe tau, sekarang umur loe
masih 17. Tapi loe udah ngalamin hal yang seharusnya loe rasain mungkin
setelah umur 25. Gue salut loe bisa melewati ini semua.”
Michelle tersenyum tipis. Tak tau harus tersanjung atau sedih manyadari kehidupannya yang menyedihkan.
“Loe tau, sejak lahir. Gue ngga pernah kekurangan apapun. Dan gue bukan
orang yang selalu meminta pada orang tua walaupun gue bisa. Sejak kecil
nenek gue selalu mengajarkan untuk berusaha sendiri, tapi sekeras
apapun gue berusaha, gue tetep aja menggunakan apa yang udah ortu gue
kasih. Tapi gue ngga pernah ngerasa semua itu salah, karena gue anak
mereka dan wajar mereka memenuhi kebutuhan gue. Teman-teman gue juga
ngelakuin itu, jadi kenapa gua ngga? Tapi, setelah gue ketemu loe.
Walaupun kondisi gue bukan sebagai orang hidup, gue ngerasa malu
banget! Gue malu pada diri gue sendiri. Bulan depan gue pas 19 tahun,
tapi apa yang idah gue perbuat untuk diri gue sendiri? Ngga ada!
Sedangkan loe yang lebih muda dari gue udah bisa menghidupi diri loe
sendiri..” sorot mata Will menunjukkan dia benar-benar rasa salutnya.
Michelle memandang Will sejenak. Lalu dia berkata, “Pernah suatu hari,
sehari sebelum gue kabur dari rumah, gue mikir. Kenapa gue ngga terlahir
sebagai anak orang kaya yang mempunyai segalanya, kenapa gue ngga
terlahir dikeluarga harmonis yang saling menyayangi. Gue nangis
sepanjang malam sampai mata gue bengkak. Tapi gue ngga pernah
mendapatkan jawaban itu. setelah gue mengalami hal yang lebih berat dari
itu, gue baru mendapatkan jawabannya...” dia diam sejenak menunggu
tanggapan Will.
“Apa?” tanya Will.
“Gue ngga terlahir sebagai anak orang kaya bukan karena gue ditakdirkan
miskin. Gue ngga terlahir dikeluarga yang harmonis bukan karena gue
mempunyai ayah yang kasar. Tapi karena gue diberi pelajaran tentang
hidup yang sesungguhnya. Dimana gue harus berkerja keras untuk
memperbaiki hidup gue agar tidak terjadi lagi untuk keluarga gue nanti..
gue bisa belajar bagaimana caranya menjalani hidup yang keras sebelum
gue tiba-tiba menemui itu..” Ucap Michelle dengan senyum optimisnya.
Will benar-benar tak menyangka kata-kata sedewasa itu akan keluar dari
bibir mungil gadis itu. “Michelle, loe bisa nebak apa yang gue pikirin?”
Dahi Michelle berkerut, “Gimana gue bisa? Gue bukan peramal..”
Will tersenyum tipis, “Gue mikir.. Kalau aja sekarang kita mengobrol dalam keadaan normal..”
Michelle hanya diam, dia memalingkan wajahnya memandang hujan.
Sebenarnya dia ingin menyembunyikan matanya yang mulai berair. Belum ada
orang yang benar-benar menghargai keberadaan dirinya setelah ibunya
meninggal.
“Dan Michelle..” Panggil Will.
“Hmm..” Gumam Michelle tanpa memandang Will.
“Gue berharap, loe akan hidup bahagia. Benar-benar bahagia. ngga perlu
lagi lari dari apapun. Dan suatu hari nanti loe akan meninggal dengan
senyuman diwajah loe di kasur yang hangat, dikelilingi orang-orang yang
menyayangi loe.” Ucap Will lembut.
Michelle menghela nafasnya yang mulai berat, air mata menitik satu
persatu. Namun dia segera menghapusnya, tak ingin Will menyadarinya.
Meskipun Michelle mencoba menyembunyikan wajahnya, Will dapat merasakan
apa yang dirasakan oleh gadis manis itu. tangannya bergerak menyentuh
rambut gadis itu. Berusaha untuk membelainya, tapi dia tak bisa
menyentuh gadis itu. semua ini membuatnya hampir gila. Menjadi hantu
yang bergentayangan mencari tubuhnya, itu akan menarik jika berada di
sebuah film. Tapi dia tak senang jika mengalaminya. Dia memikirkan
pembicaraan lain untuk melewati suasana, dan dia teringat ucapan pria
tadi ditelpon. “Michelle, apa menurut loe, yang dimaksud orang tadi
dengan ‘anak itu’. itu gue?”
Michelle membersihkan sisa air mata dan memandang Will, “Gue rasa.
Karena apa mereka akan menyulik banyak anak dalam waktu yang bersamaan?”
“Gue rasa juga begitu. Tapi, lubang apa yang mereka maksud?” Tanya Will.
Michelle berpikir sebentar, “Gue ngga begitu tau. Tapi gue rasa gue tau dimana tebing yang dia bicarain...”
“So, besok loe mau nyoba ke jurang itu?” Tanya Will.
“Hmm.. sepertinya..” Ucap Michelle.
Will cukup puas mendengar ucapan Michelle. Dan pembicaraan selesai.
***
“Loe yakin mau ke gedung itu lagi?” Tanya Will ketika dia dan Michelle
mengendap-endap dibalik sebuah pohon sambil memperhatikan gedung
kemarin.
“Iya, karena kita ngga tau apa tubuh loe udah dipindahin atau belum sama mereka.” Ucap Michelle sambil memperhatikan gedung itu.
Didepan gedung berdiri dua orang pria bertubuh besar dengan baju serba
hitam disebelah sebuah mobil yang juga berwarna hitam. Mereka tampak
sedang membicarakan sesuatu yang penting. Dari jauh Michelle bisa
mengenali salah seorang pria yang berdiri disana adalah pria yang hampir
menangkap dan menembaknya kemarin. Dia harus lebih berhati-hati.
Tiba-tiba mata pria kemarin itu menyapu pepohonan dan tampak terkejut
melihat pohon tempatnya bersembunyi, jantung Michelle sempat berdegup
kencang. Dia takut jika ketahuan. Tapi ternyata pria itu tampak tidak
curiga, dia melanjutkan pembicaraan. Beberapa saat kemudian, pria yang
kemarin pergi meninggalkan temannya. Lama Michelle menunggu pria kedua
ikut pergi, hingga dia bisa kembali menyelinap kedalam gedung.
“Michelle...” Panggil Will sambil memandangi kedua tangannya.
Michelle memandang Will, matanya langsung melotot melihat tubuh Will yang mulai menghilang. “Will, loe kenapa?” Bisiknya panik.
Will menggeleng, “Ngga tau, gue bener-bener ngga tau.. kenapa bisa
gini??” semakin lama tubuh Will menghilang hingga tak ada yang tersisa.
“Will? Will!!” Panggil Michelle. Tapi Will tak pernah muncul kembali,
dia memandang kesekeliling. Namun ketika memandang kebelakang, betapa
terkejutnya dia ketika menyadari pria yang kemarin sudah berdiri
dibelakangnya.
“Apa kabar nona?” ucap pria itu sambil tersenyum sinis.
Michelle berbalik dan mencoba kabur, tapi pria itu dengan cepat menarik
lengan dan menjambak rambutnya. Dia tak bisa berkutik lagi.
“Mau kemana nona manis? Apa loe ngga mau main sama gue dulu?” Tanya Pria itu sambil tertawa.
“Lepasin! Awww!!! Sakit!” jeritnya ketika pria itu menarik rambutnya terlalu keras.
Pria kedua muncul dari balik pohon, “Jangan buang-buang waktu, bawa dia
dan masukkan ketempat bocah ingusan kemarin! Kita ngga mungkin
ngelepasin dia!”
“Ayo ikut!!” Seru pria tadi sambil menyeret tubuh Michelle kedalam gedung.
“AAWW!! Sakit!!” Michelle terus memberontak, tapi semakin dia berontak,
pria itu semakin erat memegang lengannya. Akhirnya dia tak bisa
melakukan apapun selain mengikuti dua pria itu.
“Langsung aja bawa dia ke tempat anak itu!!” Perintah pria kedua.
Maksudnya Will? Batin Michelle.
“Baik bos..” Ucap pria tadi.
Michelle malah tak sabar ingin segera bertemu dengan tubuh Will,
meskipun dia masih tak mengerti mengapa tiba-tiba arwah Will menghilang.
Dia berpura-pura memberontak agar mereka tak ragu untuk membawanya
ketempat tubuh Will. Tapi hal itu malah membuat tasnya terjatuh, dan..
PLAKKK!!! Pria besar itu menampar Michelle hingga sudut bibirnya pecah
dan menyeluarkan darah. Gadis itu tak bisa memberontak lagi. Semuanya
terasa seperti berputar.
Pria itu membawa Michelle melewati hutan-hutan di sebelah gedung. Tak
lama kemudian pria itu berhenti dan meraba-raba tanah yang ditutupi
dedaunan kering, lalu dia menarik sesuatu yang ternyata pintu rahasia.
Dengan satu tangan dia mendorong tubuh Michelle kedalam lubang dibalik
pintu itu.
DUAAKK!! Tubuh Michelle membentur permukaan keras. Tubuhnya terasa
remuk. Sepertinya jarak dari dasar lubang ini dengan permukaannya sangat
jauh. Dia tak bisa menggerakkan tubuhnya untuk beberapa saat, dia
hanya bisa terbaring kaku dipermukaan curam dan dingin itu. semuanya
gelap, apalagi setelah pria itu menutup pintu tadi dengan keras. Tapi
setelah beberapa saat, ternyata tak segelap awalnya, dia hanya perlu
membiarkan pupil matanya terbiasa dengan gelap. Dan semuanya terlihat
jelas walaupun seperti melihat dalam ruangan berlampu 5 watt. Setelah
memastikan tak ada tubuhnya yang patah, dia perlahan bergerak bangkit.
Ketika melihat kesamping kanan, dia melihat sesosok tubuh tergelak tak
bergerak.
“Will??!!!” dia berusaha secepat mungkin untuk mendekati tubuh Will.
Kondisi Will sangat memperhatinkan, terdapat beberapa lebam diwajahnya.
Tubuh altletis yang terbalut sweater abu-abu itu terkuali lemah tak
berdaya. Dia benar-benar tak tega melihat kondisi cowok itu. dia membuka
penutup matanya perlahan, tak ada respon dari Will. Tiba-tiba
terdengar langkah besar dari atas, dan pintu diatas kepalanya terbuka.
Dia segera berbaring dan berpura-pura pingsan. Ketika itu dia baru
menyadari kalau ada sebuah tangga yang menempel di dinding. Terdengar
suara dua orang pria yang saling berkomunikasi, setelah itu seorang
dari mereka turun.
Jantungnya berdegap kencang, berharap tak terjadi apa-apa pada dirinya.
Dia merasakan langkah besar melewati pinggangnya. Dia mengintip dari
celah matanya, pria itu mengangkat tubuh Will dengan susah payah.
“Duhh.. kayaknya mati beneran nih bocah!” Ucap pria itu pada temannya setengah berteriak.
“Biarin aja! Kan lebih gampang ngebuangnya..” Ucap pria yang diatas lubang santai.
“Serius loe? Trus, nih cewek mau diapain?” Tanya pria pertama tadi lagi.
“Udah, ngga usah dipikirin. Biarin aja dia membusuk disini...” Ucap pria kedua, lalu melemparkan seutas tali kebawah.
Pria pertama mengikatkan tubuh Will pada tali dan membiarkannya naik
keatas, lalu dia naik melalui tangga. Tak lama kemudian terdengar
bantingan pintu dan semua kembali gelap.
Michelle membuka matanya perlahan, dia segera bangkit dan meraba-raba
mencari tangga tadi. Dengan hati-hati dia memanjat tangga. setelah tiba
di puncak tangga, dia berusaha membuka pintu dengan kepala dan sebelah
tangan. Bersyukur pintu itu tidak dikunci atau di tahan oleh apapun.
Dia segera keluar dari lubang dengan hati-hati. Ketika itu dia baru
menyadari tangan dan kakinya lecet di beberapa tempat. Setelah
memastikan lingkungan aman, dia melangkah cepat keluar dari hutan. Will
pasti sudah dibawa ke jurang itu, tapi dia tak mungkin datang kesana
dengan tangan kosong. Jadi dia memutuskan untuk kembali ke gedung tua
itu untuk mengambil tas, itu pun jika para pria itu tidak membuang
tasnya. Dia melangkah perlahan menuju gedung tua sambil menahan sakit
dri kakinya. Dia bersembunyi dibalik sebuah pohon sambil memperhatikan
keadaan gedung, tak terlihat ada orang disana. Sepertinya kedua orang
tadi tidak ada, dia segera melangkah masuk ke gedung dan mencari tasnya.
Ternyata tas berwarna hitam itu masih berada di tempat ketika dia
jatuh. Dengan cepat dia membuka tas dan mengluarkan pistol serta
handphone Will. Sambil melirik kanan dan kiri dia memasukkan handphone
Will ke saku celana, lalu berjalan keluar dengan memegang pistol.
Meskipun tak pernah menggunakannya, tapi dia sudah biasa melihat dalam
adegan di film. Paling tidak dia tahu bagaimana cara untuk
menggunakannya.
Dia menelusuri hutan sambil tetap was-was. Dengan sigap dia segera
bersembunyi di balik sebuah pohon ketika melihat dua orang pria besar
tadi diujung jalan.
“Si bos aneh banget! Ngapain ngebiarin tuh bocah disana. Tinggal di
lempar ke jurang kan beres, gak ada bukti lagi kalau kita yang udah
nyulik dia.” Ucap Seorang pria ketika berlalu.
“Iya, kalau gini ceritanya keburu ketangkep kita..” Ucap yang satu lagi.
Michelle lega mendengar itu, berarti tubuh Will belum dibuang kejurang,
dia harus bergerak cepat agar tidak terlambat. Dia segera menyelinap
diantara pohon menuju pinggir jurang. Jurang itu sangat dalam, jika
terjatuh kedalam mungkin akan langsung mati. Dari kejauhan dia bisa
melihat tubuh Will yang tergeletak beberapa inci dari pinggir jurang.
Disana hanya 1 orang yang berdiri memandang kearah langit-langit jurang,
pria bertubuh atletis itu terlihat sangat tenang sambil memasukkan
kedua tangannya disaku. Dari belakang pria itu terlihat familiar
dimatanya. Dia menggenggam erat pistol sambil berjalan mendekati pria
itu.
“Kenapa loe nyulik Will??” Tanya Michelle pelan.
Cowok itu tak terlihat kaget mendengar suara Michelle. Dia berbalik pelan dan memandang gadis itu.
Michelle terkejut melihat pria itu. pria yang tak asing dimatanya.
Kevin, bosnya di toko kaset. Dia memandang cowok itu tak percaya,
“Kevin?”
Kevin tersenyum, “Hei Michelle, datang untuk melihat-lihat?”
Michelle benar-benar tak percaya Kevin ada dibalik penculikan Will,
seseorang yang menurutnya ramah dan hangat. “Kevin, loe bos orang-orang
itu??”
Kevin tersenyum bangga, seperti seorang anak kecil yang baru saja
menjuarai sebuah perlombaan. “Ya.. keren kan..” nada bicaranya masih
seperti biasa, sangat akrab dan suka membuat beberapa lelucon.
“Tapi kenapa?” Tanya Michelle.
Kevin mengeluarkan kedua tangannya dari saku dan melipatny didada, “Hmm.. tentu ada alasan kan..”
“Apa alasannya? Kenapa loe nyulik Will? Salah dia apa?” Tanya Michelle lagi.
Kevin memandang Michelle lembut, “Michelle, terkadang kita harus
berpura-pura tidak tau agar selamat.. Loe ngerti kan maksud gue?”
Michelle mengerti, Kevin memeintanya untuk tetap diam dan tidak ikut campur. Dia memandang tubuh Will.
“Michelle, loe udah masuk terlalu dalam. Jadi gue mohon jangan melangkah
lagi, segera mundur dan hidup seperti biasa. Loe tau, gue ngga bisa
ngeliat cewek manis kayak loe terluka..”
“Kevin, gue datang kesini untuk membawa tubuh Will!!” Seru Michelle.
Kevin tak terkejut, malah terlihat kagum. “Wow, loe tau namanya..”
“Kevin, berhenti bercanda! Loe harus bawa Will pulang! Loe tau kan
betapa besarnya berita tentang penculikan Will! Apalagi loe udah
ngebunuh dia..” Ucap Michelle.
Kevin memandang Will, “Sepertinya loe ngga akan ngebiarin semua ini berlalu begitu aja..” dia melirik Michelle, “Ya kan?”
“tentu aja! Loe bisa dipenjara karena udah ngebunuh orang!!” seru Michelle.
Kevin tertawa kecil, “Ya, memang.. gue pasti di penjara lama banget
karena udah ngebunuh orang dengan sengaja. Tapi itu kan kalau ada yang
tau gue dalangnya, kalau ngga ada? Gue bebas kan?”
Jantung Michelle berdegup kencang, perasaannya mulai tidak enak. Kevin
sudah mengancamnya. Dia memperat genggamannya pada pistol.
Perlahan Kevin melepas lipatan tangannya, tangan kanannya bergerak
mengambil sesuatu dibalik bajunya. Ternyata senjata api laras pendek
dengan peredam suara.
Michelle segera mengcungkan senjatanya kearah Kevin sebelum kalah langkah.
Mata Kevin membesar kagum, “Wow! Reflek yang bagus.. Loe bisa masuk ke kelompok penembak pribadi gue kalau loe mau..”
“Kevin! Gue ngga tau apa alasan loe menculik Will, tapi apa yang loe
lakuin ini salah!!” Ucap Michelle berusaha menyadarkan Kevin.
“Loe mau tau alasannya?” Kevin memandang langit dan menjawab sebelum
Michelle bicara. “Karena gue juga anak dari seorang pengusaha Jonathan
Kim! Seharusnya nama gue adalah Kevin Kim..”
Dahi Michelle berkerut, “Apa??!”
“Dan loe tau semuanya.. Gue anak dari dari bokap sebelum dia nikah
dengan nyokapnya. Dan loe tau, gue sama nyokap gue dibuang gitu aja sama
dia. Setelah itu nyokap gue bunuh diri, dan tinggal gue yang harus
hidup sendiri ditengah cacian dan makian orang-orang. Hingga akhirnya
gue berhasil ngebuka toko kaset. Hidup gue mulai teratur...” Cerita
Kevin.
Semuanya mulai terlihat terang bagi Michelle, “Jadi karena itu loe
dengan gampang nerima gue untuk kerja di toko loe? Karena nasib kita
sama??!!”
“Yup! Betul banget! Baik banget kan gue, woow..” Kevin tertawa manis.
Pasti tak akan ada yang menyangka disa telah melakukan semua ini jika
melihat wajahnya.
“Tapi Kevin, apa gunanya loe ngebunuh Will? Dia ngga tau apa-apa.” Ucap Michelle.
“Will memang ngga tau apa-apa.. Tapi bokapnya kan tau, so gue mau bikin
bokapnya, atau bokep gue, ngerasain gimana harapannya hancur seketika!”
ucap kevin.
Air mata Michelle menetes, dia dapat merasakan kepedihan yg dirasakan
Kevin meskipun dia memamerkan senyum manisnya. “Kevin, sekarang udah
selesai kan? Ngga ada gunanya loe buang Will kejurang..”
Kevin tertawa kecil, “Jadi loe belum ngerti?”
Michelle memandang Kevin tak mengerti.
“Will belum mati!” Ucap Kevin santai.
Michelle terkejut, “Hah?!!” dia memandang tubuh Will, terlihat seperti mayat.
“Dan Michelle, gue rasa loe mau mati disini sama adek TIRI gue..” Kevin mengangkat pistolnya dan menarik pelatuknya.
Disaat yang bersamaan Michelle juga melakukan hal yang sama.
Dor!!! Terdengar letusan besar, dari kedua pistol.
“Ahkkk!!!” Michelle memegang perut sebelah kirinya yang tertembus peluru, darah mengalir deras dari luka itu.
“Ahkkk!!!” Kevin tak sempat memegang bahunya ketika dorongan peluru dari
pistol Michelle mendorong tubuhnya kebelakang, dia tak mampu melawan
gravitasi bumi hingga terjatuh ke jurang.
Michelle terjerembab ketanah, perutnya terasa sangat nyeri. Dia menyeret
tubuhnya mendekati Will. Dengan tangan berlumuran darah dia memegang
dada Will, ternyata benar jantungnya masih berdetak walaupun lemah.
Nafasnya mulai terengah-engah, darah dari perutnya mengalir seperti mata
air. Kakinya mulai mati rasa. Dia segera mengeluarkan handphone Will
dan mengaktifkannya sebelum dia kehilangan kesadarannya, dia mencari
dikontak panggilan. Akhirnya dia menemukan kontak ibu Will. Segera dia
memanggil kontak itu.
“Hallo! Will! Kamu dimana?” Ucap suara perempuan diseberang sana.
Michelle mengumpulkan semua suaranya yang tersisa, “Will sekarat..
segera datang!” dia meletakkan handphone Will di tanah, suaranya tak
sanggup keluar lagi. Mereka tentu bisa menemukan Will melalui GPS dari
handphone Will. Dia berbaring disebelah tubuh Will sambil menahan darah
yang terus keluar dari perutnya. Dia memandang wajah Will yang hanya
beberapa senti dari wajahnya. Dia tak takut mati, juga tidak marah ini
harus terjadi. Dia senang bisa membantu Will, pria yang dalam beberapa
jam dapat mencuri hatinya.
***
Semuanya terasa tenang. Perlahan terdengar sedikit kebisingan yang tak
mengganggu. Udara segar terus mengalir dihidungnya. Nahkan dia bisa
mendengarkan denyut jantungnya sendiri, sekelebat cahaya menerobos
kecelah matanya. Michelle membuka matanya perlahan, pandangannya buram.
Terlihat seorang pria yang mendekat kesisinya, tapi dia tak tau itu
siapa. Terdengar pria itu berbicara, tapi tak terdengar jelas. Beberapa
saat kemudian, semua indranya sudah berfungsi baik. Dia dapat melihat
dengan jelas bahwa pria itu adalah ayahnya.
“Michelle, kamu udah ngga apa-apa?” Ucap ayah Michelle cemas.
Michelle tak percaya meilhat ayahnya berbicara selembut itu padanya, dia
mencoba untuk memberontak. Tapi dia tak bisa banyak bergerak karena
nyeri diperutnya. Ketika itu dia menyadari dia berada di rumah sakit.
“Michelle! Tenang! Papa tau kamu masih marah sama papa.. tapi papa
datang kesini untuk meminta maaf atas segalanya. Papa berusaha untuk
mencari kamu setelah kamu kabur dari rumah, tapi baru beberapa bulan
lalu papa mengertahui dimana kamu bekerja. Papa mencari kamu ketempat
kamu kerja, ditoko kaset itu. bos kamu memberi tahu papa alamat
kontrakan kamu. Tapi kamu malah kabur lagi ketika papa datang.. Papa
mohon, maafin papa. Papa benar-benar menyesal..” Ucap ayah Michelle
dengan linangan air mata.
Michelle teringat ucapan Will ketika mereka istirahat dibawah jembatan.
Air matanya mengalir mengingat itu. tapi, dimana Will? “Will mana?”
tanyanya pelan.
Dahi ayah Michelle berkerut, “Will? Cowok yang sama kamu di dekat jurang
itu? dia ada di ruang ICU juga. Dua atau tiga kamar dari sini...”
Michelle lega mendengar ucapan ayahnya, berarti Will masih hidup. Dia
meraba perut sebelah kirinya. Masih teringat betapa sakitnya ketika
peluru dari senjata api Kevin menembusnya, dia memandang ayahnya,
“Kevin?”
Ayah Michelle tampak enggan menjawab, lalu menggeleng pelan. Menandakan Kevin tidak selamat dari ketinggian tebing itu.
Michelle sedih mendengar itu. Kevin memiliki nasib yang sama dengannya.
Ayah Michelle memegang punggung tangan putrinya, “Michelle, papa ngga
mau kamu hidup sepreti ini lagi. Kamu mau kembali pulang bersama papa?
Mama kamu khawatir sekali dengan kamu, dia tidak pernah sekali pun
melupakan kalau kamu tidak ada dirumah..”
Mama? Michelle menarik tangannya, “Maksud papa tante Regina?”
Ayah Michelle mengangguk pelan, dia kembali mendapat tatapan tajam dari putri semata wayangnya.
Michelle memalingkan wajahnya, dia masih belum bisa menerima perlakuan
ayahnya setelah adik tirinya lahir. “Ngga perlu! Aku bisa mengurus hidup
aku sendiri! Papa bisa urus anak baru papa itu!” ucapnya ketus.
“Michelle?!” ayah Michelle menatap Michelle, “Itu adik kamu, namanya Amara..”
“Aku ngga peeduli!!” Air mata Michelle mulai mengalir dari sudut matanya.
Ayah Michelle mengerti alasan perlakuan putrinya itu, “Papa ngerti kalau
kamu kecewa, tapi kamu ngga pernah tau kan apa yang udah papa dan mama
kamu alami setelah...”
“Dia bukan MAMA AKU!!” Potong Michelle.
“Oke! Tante Regina!” Ucap ayahnya memperbaiki, “.. setelah kamu kabur
dari rumah..” lanjutnya, “Tante Regina sangat sedih dan merasa bersalah.
Dia menangis setiap hari. Dia yang meminta papa untuk terus mencari
kamu. Bahkan dia tidak memperhatikan anaknya sendiri!! Amara mulai
sakit-sakitan ketika memasuki 1 tahun karena tante Regina selalu stress
memikirkan kamu! Dua bulan kemudian Amara meninggal!!!”
Michelle terkejut, dia memandang ayahnya tak percaya. “Apa?!”
Air mata ayah Michelle mulai menitik, “Iya Michelle, Amara meninggal
dunia! Apa kamu tidak bisa melihat itu sebagai bukti kalau kami memang
menginginkan kamu kembali? Papa mohon Michelle...”
Michelle merasa bersalah. Semua pikiran buruknya selama masa pelarian,
membuatnya penuh dengan kebencian pada wanita yang dia pikir adalah
perusak kehidupannya. Dia tak menyangka kenyataan yang terjadi seperti
ini. Jadi selama ini yang tersiksa bukan hanya dirinya, juga ayah dan
ibu tirinya.
“Michelle, Papa dan tante Regina benar-benar ingin kamu kembali. Apa kamu tidak bisa memaafkan kami?” Tanya ayah Michelle.
“Pa..” Panggil Michelle pelan dalam isak tangisnya.
“Iya sayang..” ucap ayahnya lembut.
“Aku..” Michelle tercekik oleh kata-katanya sendiri, “Aku.. mau ketemu tante Regina...”
Ayahnya tersenyum senang mendengar ucapan Michelle sambil mengelus rambut putrinya, “Benar sayang?”
Michelle mengangguk, “Iya, Pa.. aku mau minta maaf untuk kepergian Amara, juga karena aku selalu memanggil dia tante..”
Ayahnya mengecup dahinya, “Iya sayang, kita akan segera ketemu tante Regina...”
Michelle tak menyangka ayahnya akan berkata seperti ini, “Maafin aku pa.. aku udah bikin papa susah..”
“Ngga apa-apa sayang, yang penting sekarang kamu udah baik-baik aja. Itu yang terpenting!” Ucap ayah Michelle.
Dan inilah kenyataan. Tak ada yang bisa mengetahui apa yang akan terjadi
dimasa depan. Michelle kembali kepada keluarganya. Dia mendapat
sambutan hangat dari ibu tirinya, Regina. Ternyata ibu tirinya sangat
penyayang seperti ibu kandungnya. Dia bahagia menjalani kehidupannya
yang baru. Namun ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Dia tak sempat
menemui Will ketika pulang dari rumah sakit, karena tanpa dia ketahui
keluarga cowok bertubuh atletis itu membawanya keluar negeri untuk
menjalani operasi patah tulang. Entah kapan dia bisa bertemu cowok itu
secara hidup, tapi dia sudah merasa senang telah membantunya.
***
“Michelle, ayo.. dagingnya udah masak nih..” Panggil Regina dari
pekarangan rumah dengan senyum ramah yang tak pernah disadari Michelle.
Michelle yang duduk diteras rumah mengangguk dan segera menghampiri ayah
dan ibu tirinya. Mereka mengadakan pesta BBQ kecil-kecilan untuk
menyambut kepulangan dirinya kerumah meskipun sudah lewat sebulan. Dia
melangkah perlahan menuju perkarangan sambil memegangi perut sebelah
kirinya yang maish nyeri.
Regina menghampiri Michelle dan membantunya berjalan, “Hati-hati sayang.. Nanti lukanya berdarah lagi..”
Michelle tersenyum, “Iya,Ma..”
Regina memandang Michelle senang. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Mama kok nangis?” Tanya Michelle bingung.
Regina tersenyum sambil menggeleng, “Mama ngga nangis sayang, mama Cuma senang karena kamu manggil ‘MAMA’” ucapnya terharu.
Michelle merasa sangat bersalah telah melukai hati wanita yang sangat lembut ini. Dia duduk dikursi disebelah Regina.
“Nahh.. ini dagingnya udah matang..” Ayah Michelle meletakkan sepiring besar daging-danging yang sudah dia panggang.
“Wahh.. sausnya mana nih?” Tanya Regina heran.
“Yahh.. masih dirumah, papa ambil dulu ya..” Ucap ayah Michelle.
“Eh.. ngga usah pa, biar aku aja..” Ucap Michelle sambil berdiri perlahan.
“Yakin sayang? Kamu kan masih sakit..” Ucap Regina cemas.
“Ngga apa-apa ma.. aku ambil dulu ya..” Michelle melangkah menuju pintu masuk.
Ketika itu sebuah mobil berhenti didepan jalan masuk rumah Michelle.
Dia, Regina dan Ayahnya serentak memandang kearah mobil itu dengan
tatapan penasaran.
“Siapa ya?” Gumam Regina.
Pintu penumpang mobil berwarna hitam itu terbuka, turun seorang cowok
memakai sweater coklat. Cowok itu bermata indah dan wajah bercahaya. Dia
memandang Michelle dengan senyum manisnya, “Michelle..”
Michelle tak percaya dengan matanya sendiri, dia hanya bisa menatap
cowok itu tanpa bergerak. Air matanya menetes tanpa dia sadari, “Will?”
ucapnya pelan.
Will melangkah cepat kearah Michelle. Dia memendang rindu yang sangat besar hingga tak mampu di bendungnya sendiri.
Michelle melakukan hal yang sama. Beberapa saat kemudian dia sudah
terbenam dalam pelukan Will. Air matanya tak bisa berhenti mengalir.
Will memegang kedua pipi Michelle, matanya memperhatikan setiap sudut
diwajah gadis itu. “Gue ngga percaya sekarang gue bener-bener nyentuh
loe..” ibu jarinya menghapus air mata dipipi Michelle dengan lembut.
Michelle memandang kedua bola mata Will, “Gue kira loe ngga inget sama gue..”
“Ngga mungkin gue ngga inget sama orang yang sangat berarti dihidup
gue.. Dan sekarang gue ngga mau ngelepasin orang itu lagi..” Jawab Will.
Michelle tak bisa menahan air mata bahagia dimatanya. Will memeluknya erat hingga dia dapat mendengar denyut jantungnya.
Regina dan ayah Michelle bahagia melihat Michelle tersenyum dalam
airmatanya. Tak ada yang sangat indah kecuali melihat kebahagian
Michelle.